Ditengah malam, ku menikmati
kesendirianku. Ku bertanya dalam hati, “Ya
Allah, mengapa diri ini begitu hina, tak pernah merasa malu melakukan
beribu-ribu dosa dihadapan-Mu dan
sering sekali ku lakukan ini”. Aku begitu lemah tapi aku berusaha
untuk terlihat kuat dihadapan orang lain.
Setiap malam ku hanya bisa menangis diatas sajadah panjangku. Begitu berat ujian dari-Mu, tapi ku pasrahkan semuanya. Berikanlah aku kekuatan, jauhkan aku dari putus asa. Berikan aku kesempatan untuk berubah.
Setiap malam ku hanya bisa menangis diatas sajadah panjangku. Begitu berat ujian dari-Mu, tapi ku pasrahkan semuanya. Berikanlah aku kekuatan, jauhkan aku dari putus asa. Berikan aku kesempatan untuk berubah.
Pagi itu, ku jalani hari-hariku seperti biasa. Jam dinding memperlihatkan
pukul setengah delapan pagi, waktunya ku berangkat kuliah. Ku berangkat dengan
sahabat karibku. Setelah pulang kuliah dalam perjalanan menuju pulang, ku
bertemu dengan sahabatku yang sudah beberapa bulan ini tidak bertemu. Namanya
Zahra.
“Assalamualaikum”, sapa dia.
“Waalaikumussalam”, jawabku.
“Bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu dan
bercerita lagi”.
“Iya, ku merindukanmu teman. Kabarku kurang begitu baik. Tidak tahu
kenapa akhir-akhir ini perasaanku tidak tenang terus, gelisah, bimbang dan
ragu”, jawabku.
“Apa yang menyebabkanmu sampai punya perasaan seperti itu, apa ada
masalah?”
“Ku merasa diriku begitu lemah, bayang-bayang api neraka selalu
menghantui. Begitu banyak dosa yang telah aku lakukan. Aku takut, aku ingin
memperbaiki diriku untuk bisa menjadi lebih baik. Apa yang harus aku lakukan
Zahra? Aku bingung, aku berada dalam kebimbangan. Bantu aku untuk keluar dari
masalah ini.”
“Lebih baik kamu tenangkan diri dan pikiranmu dulu. Manusia memang tidak
ada yang sempurna. Tapi kita wajib berusaha dan belajar untuk jauh lebih baik. Jika
kamu mau aku akan mengajakmu ke rumah guruku. Beliau akan membantu
menyelesaikan masalahmu ini, insya allah. Aku memanggil beliau dengan sebutan
Umi. Kalau mau, kita berangkat sekarang saja.”
“Terima kasih Zahra. Iya aku mau diajak ke rumah Umi. Ya sudah, mari kita berangkat Zahra.”
Akhirnya kami pun sampai di depan rumah Umi Aisyah.
“Assalamualaikum”, sapa kami.
“Waalaikumussalam”, terdengar suara dari dalam. Anakku Zahra, silahkan
masuk. Ini siapa Zahra? Cantik sekali.
“Dia teman Zahra Umi, namanya Annisa. Dia ingin bercerita tentang masalah
yang sekarang dia hadapi, dia bingung apa yang harus dia lakukan. Mohon
bantuannya ya Umi.”
“Benar anakku kau sedang punya
masalah? Jika Umi bisa bantu, Insya Allah Umi bantu. Silahkan ceritakan
permasalahannya apa?”
“Benar Umi. Sebelumnya saya minta maaf karena telah merepotkan Umi. Saya
sangat senang bisa bertemu dengan Umi. Begini Umi, tidak tahu kenapa
akhir-akhir ini saya merasa takut dengan bayang-bayang api neraka. Saya takut
dengan dosa-dosa yang telah saya lakukan. Saya ingin memperbaiki diri saya. Apa
makna hidup saya ini dan kepada siapa saya kembali nanti?”
“Nak, seharusnya kamu bersyukur karena telah diberikan perasaan takut
seperti itu karena tidak semua orang diberikan perasaan seperti itu. Kamu harus
bisa mengendalikannya. Tenangkan hati dan pikiranmu. Perbanyaklah shalat malam
dan puasa sunah dan juga lakukan shalat tobat dengan sungguh-sungguh. Kamu
harus berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Insya allah dengan itu, dosa-dosa
kamu sebelumnya akan terhapus. Bersabarlah Nak. Yakin dan percaya Allah akan
memberikan jalan untukmu. Banyak-banyak berdoa ya. Umi juga tidak bisa bantu
banyak, kita sebagai manusia wajib berusaha dan berdoa. Selanjutnya kita
serahkan semuanya pada Allah.”
“Terima kasih Umi, akan saya coba saran dari Umi. Saya akan berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki diri saya. Sekali lagi terima kasih
Umi. Masukan dan saran dari Umi sangat berarti untuk saya”.
“Sama-sama anakku, maafkan Umi juga tidak bisa bantu banyak. Yakin dan
percayalah pada Allah.”
“Zahra, kita pulang sekarang saja, sudah sore takut Ayah marah.”
“Ya sudah. Umi kami pamit pulang sekarang ya. Terima kasih Umi telah
membantu teman Zahra. Maaf telah mengganggu aktivitas Umi. Kami pamit,
wassalamualaikum.”
“Waalaikumussalam. Hati-hati ya anak-anakku. Allah selalu bersama
kalian.”
Sesampainya di rumah ku merenungi apa yang Umi katakan padaku. Aku
bertekad untuk memperbaiki diri. Tak terasa tanganku tergerak untuk mengambil
bolpoin dan secarik kertas, ku tulis sebuah puisi yang mewakili ungkapan isi
hatiku.
Jauh dari-Mu
Maafkan aku jika aku terlalu memikirkan
kehidupan dunia
Maafkan diri ini ketika lalai menjalankan
perintah-Mu
Hidup dan matiku adalah kehendak-Mu
Bimbang, ragu, takut dan gelisah
Itulah yang kurasa akhir-akhir ini
Tunjukkanlah cahaya-Mu untuk menerangi hati
ini
Hati yang gelap, sirna dan buta
Bantu aku kembalikan asaku yang telah lama
hilang
Agar
aku senantiasa selalu mengingat dan menyebut nama-Mu
Diri ini telah jauh dari-Mu
Padahal, Engkau selalu bersabar menunggu
kata
Yang ku ucap untuk menyebut nama-Mu
Tapi rahmat dan ampunan-Mu begitu besar
Seperti besarnya kuasa-Mu untuk hidup dan
matiku
Tak terasa air mata membasahi pipiku. Tidak lama kemudian aku pun
tertidur.
Jam dinding dikamarku menunjukkan pukul dua dini hari. Aku terbangun dari
tidurku. Ku ambil air wudlu dan aku pun shalat. Aku berdoa kepada Allah dan
memohon ampun pada-Nya. Aku keluarkan semua yang ada dalam hatiku, tidak tahu
kenapa malam ini aku merasa begitu dekat dengan-Nya. Aku harus yakin aku bisa. Ya
Allah, berikanlah aku kesabaran dan ketegaran dalam menghadapi segala ujian dan
cobaan yang Kau berikan pada-Ku. Aku akan berusaha untuk jadi yang lebih baik.
Pagi itu, ku jalani hari-hariku penuh semangat, ceria dan riang, ku pamit
pada Ayah dan kucium tangannya.
“Annisa berangkat ya Ayah, Ayah jaga diri baik-baik dan jaga kesehatan
Ayah. Nisa sudah siapkan sarapan dimeja makan, nanti dimakan ya. Nisa pamit.
Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam, hati-hati anakku.”
Entah kenapa hari itu terasa berat bagiku untuk meninggalkan Ayah
sendirian di rumah. Aku tidak fokus belajar dan tidak bisa konsentrasi. Ku
ingin segera pulang, bertemu Ayah kembali dan menjaganya. Aku takut terjadi
apa-apa dengan Ayah. Akhirnya kuliahku selesai. Ku bergegas untuk segera pulang
tanpa menghiraukan orang yang memanggilku dari belakang. Yang ada dipikiranku
hanyalah bertemu Ayah. Sesampainya dirumah, aku sangat kaget. Begitu banyak
orang di rumahku, dipasang bendera kuning pula. Perlahan-lahan aku masuk ke
dalam rumahku. Ku bertanya,
“Ada apa
ini, kenapa banyak orang disini?”
“Tenang ya Nisa, yang sabar. Ayahmu beberapa jam yang lalu meninggal
dunia”, terdengar suara seorang Ibu menjawab pertanyaanku.
“Tidak mungkin. Tadi pagi Ayah baik-baik saja. Ini bohong kan?”
“Terimalah kenyataan Nisa, mungkin ini jalan terbaik yang Tuhan berikan
padamu”, kata seorang Bapak disebelahku
Ku pergi ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Ku merasa Allah tidak adil, sangat tidak adil. Tiga
tahun lalu Ibu meninggal. Mengapa sekarang Ayah menyusul Ibu dan meninggalkanku
sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Kenapa harus aku, kenapa tidak
orang lain. Ya Allah…
“Tok-tok-tok”, terdengar suara orang mengetuk pintu kamarku dari luar.
“Siapa?” tanyaku.
“Ini aku Zahra dan Umi Aisyah, buka pintunya Annisa?”
“Masuk saja, tidak aku kunci pintunya.”
“Nisa, kami turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu. Bagaimana
keadaanmu?” tanya Zahra.
Aku pun tidak menjawab pertanyaan Zahra, ku memeluk Umi Aisyah dan
menangis sejadi-jadinya dipelukan Umi. Ku meraa Ibu ada disampingku dan
memelukku.
“Umi, aku ingin Umi jadi Ibuku ”
“Iya Nak, Umi adalah Ibu kalian, Umi sudah menganggap kalian seperti anak
Umi sendiri.”
“Mengapa Allah memanggil Ayah.
Allah tidak adil padaku Umi. Kenapa harus aku? Kenapa?” tanyaku sambil
menangis.
“Anakku kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Ini semua adalah takdir
Allah. Kamu percaya takdir kan?
Banyak orang diluar sana
yang hidupnya kekurangan, makan saja susah. Kamu harus bersyukur, hidupmu
berkecukupan. Allah sedang menguji
kamu, apakah kamu akan sabar dan lulus dalam menghadapi ujian ini. Segala
cobaan dan ujian yang Allah berikan, insya allah itu merupakan yang terbaik
untuk kita. Ayah dan Ibumu akan bertemu kembali di surga sana. Begitupun kita.
Suatu saat kita juga akan menyusul mereka, perbedaannya hanya pada waktu saja.
Disini kamu sebagai anaknya yang baik, harus mendoakannya, mengirimkan doa
untuk mereka. Anakku, kamu benar-benar sedang diuji oleh Allah. Jangan sampai
dengan kejadian ini kamu malah semakin terpuruk dan malah jauh dari Allah.
Yakin dan percayalah, ini adalah jalan terbaik yang Allah berikan padamu.”
“Tapi aku tidak kuat menjalani ini
semua sendirian, aku tidak sanggup Umi.”
“Umi yakin kamu bisa, pasti bisa. Kamu tidak sendirian, kamu punya Umi
sebagai Ibumu, Zahra sahabatmu yang selalu ada untukmu dan teman-teman lain
yang sayang padamu. Apalagi kamu sudah sangat dewasa, mungkin beberapa tahun
lagi ada seorang pemuda yang akan melamarmu, menemanimu dan membahagiakanmu
dunia akhirat.”
“Iya Nisa, aku akan selalu ada untukmu. Malam ini dan seterusnya aku akan
menemanimu disini. Jangan sedih lagi ya? Kalau kamu menangis terus, kasihan Ayah
dan Ibumu, tidak akan tenang disana. Ikhlaskan kepergian mereka. Mungkin ini
adalah jalan yang terbaik. Biarkan mereka tenang disana.”
“Terima kasih Zahra, aku sangat bersyukur masih memiliki orang-orang yang
sangat sayang dan selalu menemaniku. Terima kasih. Aku senang kalian mau
menemaniku disini.”
“Tenangkan diri dan pikiranmu Nak. Umi pamit pulang ya, kasihan suami Umi
sendirian dirumah baru pulang kerja. Zahra, temani Annisa disini ya?”
“Iya Umi.”
Sebelum pulang Umi mencium keningku. Aku teringat Ibu yang selalu mencium
keningku sebelum aku berangkat sekolah dulu.
Setelah Umi memberiku nasihat aku sudah lebih tenang dan sudah ikhlas
menerima kepergian mereka. Aku sangat bersyukur masih memiliki orang-orang yang
sangat mencintaiku. Malam itu aku terbangun, ku ambil air wudlu dan ku berdoa
pada Allah, ku berdoa untuk kedua orang tuaku yang sudah berada lebih dulu
menghadap-Nya, ku memohon agar suatu saat bisa dipertemukan kembali dengan
mereka. Air mata membasahi pipiku, aku tidak kuat menahan itu sendiri. “Ya Allah, berikanlah aku kekuatan dan ketegaran”. Aku harus bisa,
aku pasti bisa. Aku tidak boleh jadi wanita yang lemah. Memang benar yang
dikatakan Umi, mungkin ini adalah jalan terbaik yang diberikan Allah padaku, aku
harus menerimanya dengan lapang dada, ikhlas dan sabar. Ya, aku harus bisa, aku
tidak boleh terus-terusan seperti ini, aku harus bangkit dari keterpurukan ini,
masa depanku masih sangat panjang. Ku berkata dalam hati, “Ayah, Ibu maafkan Nisa. Nisa janji akan melakukan yang terbaik dan
akan berusaha memperbaiki diri Nisa agar suatu saat kita dapat berkumpul
kembali di surga”. Tak terasa ku tertidur di atas sajadah panjangku.
Setelah Ayah meninggal, Zahra selalu menemaniku. Dia selalu menginap di
rumahku. Dia memang sahabat terbaikku. Ayah dan Ibu juga telah mengenalnya. Dia
begitu baik dan solehah. Sebulan setelah kepergian Ayah, akhirnya aku bisa
menjalani hari-hariku seperti biasanya. Malam itu, kita saling bercerita di
kamarku. Zahra yang memulai bertanya padaku,
“Annisa, aku sangat senang melihatmu kembali seperti dulu. Aku akan
selalu menemanimu disini karena aku sudah menganggapmu seperti kakakku
sendiri.”
Aku terharu mendengarnya, “Terima kasih Zahra, aku juga senang
mendengarnya. Kamu memang sahabat terbaikku.”
Kita pun berpelukan dan saling meneteskan air mata. Zahra mengatakan
sesuatu yang membuatku tenang sekaligus terharu.
“Annisa, kakakku, aku berjanji akan selalu menemani dan menjagamu. Aku
tidak mau melihatmu sedih. Jangan pernah merasa sendiri ya. Senyummu dan
bahagiamu adalah milikku juga. Nisa, aku ingin mengajakmu ikut pengajian. Mau kan? Biasanya setiap
hari Jumat jam dua siang. Mudah-mudahan banyak pelajaran yang kamu dapatkan
disana.”
“Iya Zahra aku mau. Aku sudah bertekad untuk memperbaiki diriku menjadi
lebih baik. Ku ingin menjadi wanita solehah sepertimu.”
“Kita sama-sama belajar Nisa. Ya sudah, lusa nanti kita ke sana ya? Sekarang kita
tidur saja, sudah malam.”
“Iya Zahra, duluan saja.”
Zahra sudah terlelap dalam mimpinya. Tanganku ingin mencari sebuah
bolpoin dan secarik kertas. Ku baru
menyadari, ku tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu. Agamaku
memang Islam, tapi aku tidak mengenal makna dari agamaku. Apa Islam itu? Aku
sendiri tidak tahu. Tanganku menggerakkan sebuah bolpoin di atas secarik
kertas.
Kegelisahan
Hati
Hatiku kadang sekeras batu
Kadang selembut sutera
Kenapa diri ini begitu renta dan lemah
Seperti seekor binatang dipinggir jalan
Sendiri, sepi, melangkah pun terasa hampa
Langkah kaki terasa berat
Seakan bertanya akan kemana dan mau apa?
Tuhan………
Berikan hamabamu ini hidayah-Mu
Agar bisa melangkahkan kaki dijalan-Mu
Jalan yang diridhoi oleh-Mu
Ringankanlah kaki ini untuk melangkah
Jangan sampai tersesat kedalam lembah hitam
Bantu hamba ya Allah……
Hanya kepada-Mu hamba memohon
Dan hanya Engkaulah yang akan
Mengeluarkan hamba dari kesulitan ini
Berikanlah cinta dan sayang-Mu untukku
Sekarang adalah hari Jumat. Kita pun siap-siap berangkat mengaji.
Sesampainya disana, banyak teman-teman yang mengikutinya. Guru mengajinya juga
sudah datang. Kita langsung duduk bareng dengan teman-teman. Tema hari ini
adalah “Jilbab”, suara yang lembut mengalun dari seorang wanita yang sangat
cantik dan anggun itu. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat
bermanfaat dan berguna untukku. Menyentuh hatiku dan telah membukakan pintu
hatiku yang selama ini tertutup dengan gemerlapnya kehidupan dunia. Ku bertanya
dalam hati. “Apa makna jilbab yang selama
ini melekat di kepalaku? Ku hanya bisa diam mendengarkan setiap kata-kata
yang keluar dari mulut wanita itu.
“Tak terasa waktu juga yang memisahkan kita, semoga apa yang disampaikan
hari ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh”, suara yang lembut kembali terdengar.
Kita pun serentak menjawab, “waalaikumussalam”.
Setelah mendengar ceramah agama itu, aku merasa mendapat pencerahan,
hatiku telah dibukakan oleh Allah. Aku sangat bersyukur sekali. Aku berjanji
dalam hatiku untuk memperbaiki diriku dan akan belajar lebih dalam lagi tentang
Islam.
Satu tahun kemudian, ku merasa banyak perubahan dalam diriku. Begitupun
Umi dan Zahra, mereka juga sangat bahagia melihat aku yang sekarang.
“Nisa, aku sangat senang melihatmu yang sekarang. Kamu tambah cantik dan
anggun, murah senyum, tidak sering mengeluh dan menangis. Jilbab yang menutupi
tubuhmu, akan semakin memperlihatkan aura dan kecantikanmu sebagai seorang
wanita. Aku salut padamu, aku senang melihat perubahanmu.”
“Zahra, ini semua juga berkat bantuanmu dan Umi Aisyah juga doa dari Ayah
dan Ibu yang mendoakanku di surga sana.
Terima kasih Zahra, kalau tidak ada kalian aku tidak mungkin bisa jadi seperti
sekarang. Aku sangat bersyukur mempunyai kalian sebagai keluargaku, aku sayang
kalian. Zahra, aku ingin main kerumah Umi Aisyah. Aku sangat merindukannya, aku
sangat kangen. Sudah hampir sebulan tidak bertemu. Paling hanya lewat telephone
dan SMS saja.”
“Sama-sama Nisa, kita kan
saudara apalagi kita sama-sama umat muslim yang wajib saling bantu, tolong
menolong dalam kebaikan dan kebenaran. Ya sudah, bagaimana kalau besok kita
main ke rumah Umi?”
“Iya Zahra, aku setuju.”
Malam itu Handphoneku berdering. Ternyata dari Umi Aisyah. Ku angkat
Handphoneku, “Assalamualaikum”.
“Waalaikumussalam anakku”. Jawab Umi.
“Ada apa
Umi, tumben sekali menelepon Nisa malam-malam begini? Oiya Umi, insya allah
besok Nisa dan Zahra akan main kerumah. Kami merindukan Umi”.
“Alhamdulillah, kebetulan
sekali anakku, Umi ada perlu denganmu, ada yang harus Umi bicarakan denganmu. Umi
juga merindukan kalian, sudah lama kita tidak bertemu”.
“Ya sudah, besok saja kita bicarakan ya Umi, sekita pukul 09.00 kita
berangkat dari sini.”
“Iya anakku, Umi tunggu kedatangan kalian. Wassalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Pagi itu setelah shalat subuh, ku ceritakan pada Zahra bahwa Umi meneleponku
tadi malam.
“Zahra, semalam Umi meneleponku. Beliau mengatakan ada yang mau
dibicarakan denganku. Aku tidak tahu apa yang akan Umi sampaikan padaku.”
“Mungkin Umi akan menjodohkanmu dengan seorang laki-laki yang nanti akan
melamarmu.”
“Zahra jangan bercanda ah.”
“Kan
siapa tahu, kemungkinan bisa saja terjadi. Lagi pula usiamu sudah cukup untuk
berumah tangga dan akan ada orang yang mendampingi dan membahagiakanmu dunia
akhirat.”
“Zahra bicaramu sudah mulai ngelantur gitu. Sudah ah, kita siapkan sarapan
saja sebelum berangkat ke rumah Umi.”
“Tapi jika itu benar bagaimana? Apa kamu siap dilamar oleh pemuda yang
Umi pilihkan untukmu?”
“Jika itu yang terbaik insya
allah aku siap. Ku percayakan semuanya pada Umi, karena Umi adalah
Ibuku. Sudah jangan bercanda terus, ayo kita siapkan sarapan?”
“Sahabatku ini tersipu malu.”
Setelah itu kita pun berangkat menuju rumah Umi Aisyah. Ternyata Umi
sudah menunggu kita. Kita pun serentak mengucapkan salam dan Umi mempersilahkan
kita masuk dan mencicipi hidangan yang disediakan.. setelah kita duduk, Umi
bertanya, “Bagaimana kabar kalian?”
“Alhamdulillah baik”.
Aku pun bertanya, “Umi, apa yang akan Umi bicarakan dengan Nisa?
Kelihatannya penting sekali?”
“Begini, sebelumnya Umi minta maaf. Umi ingin bertanya padamu Nak, apakah
kamu siap menikah? Jawab dengan hati yang jujur dan ikhlas, jangan tergesa-gesa
untuk menjawab.”
“Jika memang ada seseorang yang mencintai dan menyayangi Nisa karena
Allah, insya allah Nisa siap lahir batin.”
“Alhamdulillah Umi senang mendengarnya. Itu jawaban yang Umi harapkan.
Mudah-mudahan jawaban itu tulus dari hatimu yang paling dalam.”
“Insya Allah Umi, memang kenapa Umi bertanya seperti itu?”
“Beberapa bulan yang lalu, anak murid Umi menanyakan tentang dirimu dan
keluargamu pada Umi. Umi minta maaf sebelumnya, Umi terpaksa menceritakan
semuanya tentang dirimu dan keluargamu pada pemuda ini. Setelah Umi ceritakan
dan bertanya-tanya padanya, ternyata diam-diam dia sering memperhatikanmu,
melihatmu dari kejauhan, mencari tahu kegiatanmu dan banyak lagi. Dia bilang
pada Umi, dia ingin melamar dan menikahimu dan dia juga meminta Umi
menyampaikannya langsung padamu. Dia pemuda yang baik, soleh, ramah dan dari
keluarga yang baik pula. Umi percaya padanya.”
‘Jika memang itu yang terbaik Nisa siap untuk dilamar dan menikah
dengannya. Tolong sampaikan juga padanya Umi.”
“Alhamdulillah, Umi senang mendengarnya. Insya allah Umi sampaikan
nanti.”
Beberapa bulan setelah pembicaraan itu, aku pun menikah dengan pemuda
tampan yang bernama Yusuf. Pemuda yang Umi pilihkan untukku. Kami pun hidup
bahagia dan dia sangat menyayangiku. Semoga pernikahan kami mendapatkan
keberkahan dan rahmat dari Allah yang Maha Kuasa.
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri.
BalasHapusAnda benar Herman, apa yang anda katakan adalah benar, saya juga mendapat pinjaman dari organisasi Islam, Pemberdayaan, mereka benar-benar memberikan pinjaman asli. Mereka tidak seperti yang lain palsu pemberi pinjaman pinjaman di internet. Saya juga mendapat pinjaman sebesar Rp500.000.000.00 dari mereka beberapa bulan yang lalu. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang saya lihat di internet dalam kehidupan saya. Mereka genuines dan sah. Sebagai Herman mengatakan, orang-orang yang mencari pinjaman mendesak untuk menghubungi mereka melalui Email (islamicloanempowerment@gmail.com) dan anda akan senang anda lakukan. Sekali lagi, Herman terima kasih untuk berbagi informasi ini kepada orang-orang kami.
BalasHapus